Mengenal Museum Tsunami Di Aceh – Gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh pada tahun 2004 merupakan salah satu bencana terbesar yang dialami Indonesia. Kecelakaan pada 26 Desember merenggut 227.000 nyawa.
weaverhallmuseum – Gempa berkekuatan 9,1 skala Richter dan tinggi tsunami hingga 30 ini sangat kuat. Untuk itu Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam, Pemerintah Kota Banda Aceh dan Ikatan Arsitek Indonesia membangun Museum Tsunami Aceh dan diresmikan pada tahun 2008.
Tujuan Pembangunan museum ini dimaksudkan untuk memperingati bencana dan berfungsi sebagai pusat pendidikan dan evakuasi jika terjadi bencana gempa bumi dan tsunami kembali. Museum Tsunami Aceh terdiri dari dua lantai. Level 1 merupakanyang berisi data tsunami sebelum, saat, dan setelah tsunami. Pengunjung juga dapat melihat foto-foto peristiwa, jejak tsunami, dan diorama. Di lantai ini juga terdapat mushola yang nama-nama korbannya tertulis secara tertata rapi.
Sedangkan lantai 2 merupakanyang berisi fasilitas belajar seperti perpustakaan, ruang prop, ruang 4D dan toko oleh-oleh. Alat bantu visual yang ditampilkan di lantai ini antara lain cetak biru seismik dan model diagram sesar tanah. Jika Anda berencana berlibur ke Banda Aceh pascapandemi, pastikan untuk menambahkan Museum Tsunami Aceh ke dalam daftar destinasi yang wajib dikunjungi.
Mengenal Museum Tsunami Di Aceh di Banda Aceh, Aceh, Indonesia, adalah museum yang dirancang sebagai pengingat simbolis gempa bumi dan tsunami Samudera Hindia tahun 2004, serta sebagai pusat pendidikan dan tempat penampungan darurat. Salah satu tujuan dari bencana tersebut adalah untuk memberikan bantuan apabila daerah tersebut kembali dilanda tsunami.
Pada saat pameran di Semarang, Paviliun Aceh sedang memamerkan koleksi yang sebagian besar merupakan milik pribadi F.W. Rumah suku yang menjadi kurator pertama Museum Aceh pada tahun 1915. Selain koleksi rumah adat, koleksi memorabilia dari para pembesar Aceh juga dipamerkan, menjadikan Paviliun Aceh sebagai paviliun terlengkap koleksinya.
Pada pameran tersebut, Paviliun Aceh berhasil meraih 4 medali emas, 11 medali perak, 3 medali perunggu dan satu sertifikat paviliun terbaik. Keempat medali emas tersebut diberikan kepada: Pertunjukan, Wayang Aceh, Etnografi dan Mata Uang; Perak untuk pertunjukan, foto, dan barang-barang rumah tangga. Melihat keberhasilan tersebut, Rumah Adat menyarankan kepada Gubernur Aceh agar pendopo tersebut dibawa kembali ke Aceh dan diubah menjadi museum. Gagasan ini diterima oleh Gubernur Aceh Swart. Atas prakarsa Rumah Suku, Paviliun Aceh dibawa kembali ke Aceh dan diresmikan sebagai Museum Aceh pada tanggal 31 Juli 1915, sebelah timur Blang Padang di Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Museum ini berada di bawah tanggung jawab para penguasa sipil dan militer Aceh yaitu, F.W. Rumah suku sebagai kurator pertama.
Setelah Indonesia merdeka, Museum Aceh menjadi milik Pemerintah Daerah Aceh yang pengelolaannya dipercayakan kepada Pemerintah Daerah Tk. II Banda Aceh. Pada tahun 1969, atas prakarsa T. Hamzah Bendahara, Museum Aceh dipindahkan dari lokasi lamanya (Blang Padang) ke lokasi sekarang di Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah seluas 10.800 m2. Setelah pengalihan ini, pengelolaannya dialihkan ke Badan Pusat Pembinaan Keluarga (BAPERIS) Iskandarmuda.
Baca Juga : Mengenal Tentang Intel Dan Detektif
Sejalan dengan program pemerintah dalam pengembangan kebudayaan khususnya pengembangan museum, Museum Aceh mendapat pendanaan Pelita melalui Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Daerah Istimewa Aceh sejak tahun 1974. Proyek Pelita memungkinkan gedung-gedung lama berhasil direnovasi dan sekaligus mengakuisisi gedung-gedung baru. Gedung-gedung yang baru dibangun tersebut meliputi gedung pameran tetap, auditorium, gedung pameran temporer serta perpustakaan, laboratorium dan gedung perkantoran.
Selain pembangunan struktur/bangunan museum, juga dilakukan upaya perolehan koleksi atas biaya Pelita untuk melengkapi koleksi yang sudah ada. Koleksi yang terkumpul diteliti secara bertahap dan hasilnya dipublikasikan kepada masyarakat umum.
Desain
Itu adalah Museum Tsunami Aceh dirancang oleh arsitek Indonesia (dan sekarang penjabat Gubernur Jawa Barat) Ridwan Kamil. Museum ini merupakan bangunan empat lantai seluas 2.500 m 2 . dindingnya yang panjang dan melengkung ditutupi dengan relief geometris. Di dalam, pengunjung memasuki koridor sempit dan gelap di antara dua dinding air yang tinggi, yang dirancang untuk menciptakan kembali kebisingan dan kepanikan akibat tsunami itu sendiri. Dinding museum dihiasi gambar orang-orang yang sedang menampilkan tarian Saman, sebuah isyarat simbolis yang didedikasikan untuk kekuatan, disiplin, dan keyakinan agama masyarakat Aceh. Dari atas, atapnya menyerupai tsunami. Lantai dasar meniru bangunan bertingkat tradisional Aceh yang lebih mampu menahan tsunami.
Gedung tersebut mengenali kedua korban, yang namanya akan ditulis di dinding salah satu korban. mereka interior museum dan anggota komunitas lokal yang masih hidup. Selain berperan sebagai memorial korban meninggal, museum juga menyediakan tempat untuk mengenang para korban meninggal. tempat berlindung untuk kejadian serupa di masa depan, termasuk “bukit pelarian” di mana pengunjung dapat menyelamatkan diri jika terjadi tsunami lagi.
Koleksi
Pameran di museum mencakup simulasi elektronik gempa bumi dan tsunami Samudera Hindia tahun 2004, serta foto-foto korban dan menampilkan cerita dari para penyintas bencana.
Selain museum tsunami di aceh, kota Aceh sendiri mempunya museum lain yang bernama Museum Aceh. Museum Negeri Aceh , yang dikenal sebagai Museum Aceh atau Museum Banda Aceh , adalah sebuah museum di Banda Aceh, Indonesia. Ini adalah salah satu museum tertua di Indonesia.
Masa kolonial
Bangunan Museum Aceh yang asli berbentuk teater tradisional Aceh (Rumoh Aceh Aceh). Bangunan ini awalnya digunakan sebagai Paviliun Aceh di halaman De Coloniale Tentoonsteling (Pameran Kolonial) di Semarang pada tanggal 13 Agustus hingga 15 November 1914. Niat awalnya adalah untuk membongkar teater tersebut dan memindahkannya ke Belanda.
Paviliun ini memamerkan artefak-artefak Aceh, yang sebagian besar merupakan koleksi pribadi etnografer Friedrich Stammhaus , yang menjadi kurator pertama Museum Aceh pada tahun 1915. Pada pameran kali ini, Paviliun Aceh berhasil menjadi paviliun terbaik. Karena keberhasilan tersebut, Rumah Adat mengusulkan HNA sebagai gubernur sipil dan militer Aceh. Swart untuk membawa paviliun tersebut kembali ke Aceh dan menggunakannya sebagai museum.
Bangunan tersebut dikembalikan ke Koetaradja (sekarang Banda Aceh) di Aceh dan diresmikan pada tanggal 31 Agustus 1915 di Koetaradja Esplanade dengan rumah adat sebagai kurator pertama museum tersebut. Stammhaus tetap menjadi kurator museum hingga tahun 1933.
Menjual rumah suku setelah miliknya memensiunkan koleksi pribadinya yang terdiri dari 1.300 benda etnografi ke Institut Kolonial di Amsterdam, yang sekarang disebut Tropenmuseum. Koleksi ini banyak memuat artefak-artefak khas Aceh, antara lain perhiasan emas, senjata Aceh, jimat, foto, dan benda sehari-hari. Contoh paling terkenal yang dijual di Museum Tropis adalah jas pribadi Teuku Umar.
Periode setelah kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, museum ini menjadi milik pemerintah daerah Aceh. Pada tahun 1969, atas prakarsa Teuku Hamzah Bendahara, Museum Aceh dipindahkan dari lokasi lama (Blang Padang) ke lokasi sekarang di Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyan di atas tanah seluas 10.800 m².
Pada tahun 1974, pihak museum mendapat dana untuk merenovasi museum. Dana tersebut digunakan untuk pemugaran bangunan pendopo asli dan pembangunan gedung baru kompleks museum. Gedung baru ini mencakup ruang pameran permanen, ruang konferensi, laboratorium, perpustakaan, dan kantor. Dana tersebut juga digunakan untuk memperkaya koleksi museum dan penelitian terkait.
Pada tanggal 1 September 1980, Museum Aceh resmi diubah menjadi museum provinsi yang diberi nama Museum Negeri Aceh (Bahasa Indonesia) Museum Negeri Aceh ). Pelantikan resminya dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Dr. Daoed Yoesoef. Rumoh Aceh yang bersejarah selamat dari gempa bumi dan tsunami tahun 2004.
Rumoh Aceh
Rumoh Aceh adalah rumah khas, tradisional, dan indah dari Aceh, yang bahan utamanya adalah kayu. Rumah tersebut berisi tiga ruangan, ruang depan ( Ruang Depan ), ruang tengah ( Tungai ) dan ruang belakang ( Seuramo Likot ). Ruangan tengah lebih tinggi kira-kira 50-75 cm dibandingkan ruangan depan dan belakang.
Koleksi
Sebagian dari koleksi asli Museum Aceh disimpan oleh Museum Tropis di Amsterdam, salah satu yang paling terkenal adalah lambang pribadi Teuku Umar .
-Jas pribadi Teuku Umar, kini disimpan di Museum Tropis.
-Stand kayu untuk Alquran dari Kampong Lam Koenjet, Koenjet, Lho Nga .
-Rosario kayu Islami dari Masjid Mon Mata, Lho Nga. Koleksi asli Museum Aceh ini sekarang ada di Tropenmuseum di Amsterdam.
-Lonceng Cakra Donya, lonceng Kesultanan Aceh.
-Prasasti Neusu dalam bahasa Tamil
A Must-Visit Art Gallery in the Jogja Area - Jogjakarta, yang sering disebut sebagai Jogja,…
Museum Terbaik di Bogor - Museum terbaik di Bogor terletak di kota yang berdekatan dengan…
Sejarah Museum Pendidikan Surabaya – Kota Surabaya yang juga dikenal dengan sebutan Kota Pahlawan merupakan…
Brawijaya Museum Malang - Brawijaya Museum is a museum located in Malang City, East Java,…
List of Museums in Surabaya - Surabaya is the capital of East Java province and…
History of the Mpu Tantular Museum - The Mpu Tantular Museum is a very interesting…